Kasus penghilangan nyawa yang dilakukan oleh seorang korban begal terhadap dua dari empat pelaku begal di NTB beberapa waktu lalu sangat menyita perhatian masyarakat. Bahkan kepolisian mendapatkan banyak sekali kritik dari masyarakat yang awam soal hukum terkait langkah yang diambil oleh kepolisian.
Headline berita "korban jadi pelaku" benar-benar mempengaruhi perspektif masyarakat awam terkait dengan penetapan Pak Murtede (sapaan akrab pelaku) sebagai tersangka. Opini yang digiring solah-olah hanya ada satu kasus dimana korban dijadikan pelaku dan begal yang selamat kemudian menjadi saksi. Padahal sangat jelas ada dua jenis perkara pidana dalam peristiwa tersebut. Pak Murtede merupakan pelaku untuk tindakan penghilangan nyawa dan keempat begal merupakan pelaku percobaan pencurian dengan pemberatan dimana pak Murtede adalah korbannya.
Penggiringan opini masyarakat dengan headline berita yang menjerumuskan serta ketidaktahuan masyarakat akan proses hukum membuat masyarakat menuntut untuk pembebasan atas keadilan dan karena itu adalah sebuah pembelaan diri. Dan celakanya kemudian adalah, kepolisian mengabulkan hal tersebut, yang menurut saya cuma membuat chaos hukum itu sendiri. Kenapa? Jelas yang berhak untuk mempertimbangkan ada tidaknya atau benar tidaknya tindakan tersebut bisa digolongkan sebagai alasan pembenar ataupun alasan pemaaf itu adalah hakim pengadilan, maka proses penyidikan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan harus terus berlanjut sampai kemudian hakimlah yang akan menentukan apa tindakan penghilangan nyawa tersebut adalah murni noodweer exces.
0 Komentar